AUGUSTE COMTE (1798 - 1857)
August Comte atau juga Auguste Comte (Nama lengkap : Isidore Marie
Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpellier, Prancis, 17 Januari
1798 - meninggal di Paris, Prancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun
dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.) adalah seorang ilmuwan
Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai
orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Istilah “sosiologi” pertama kali digunakan pada tahun 1839 oleh Auguste
Comte. Sebelumnya Comte menggunakan istilah “fisika sosial” yang sudah
digunakan oleh Adolphe Quetelet, ahli matematika dari Belgia, untuk
menunjuk studi statistika tentang gejala moral (1836), sehingga Comte
nengubahnya menjadi “sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan
masyarakat yang baru.
Riwayat Hidup Auguste Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya
beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di
Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan
sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia
adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Politeknik
École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis
republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut
ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan École dan
melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier
Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat
bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik
memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama
minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon
(Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon) yang mempekerjakan
Comte sebagai sekretarisnya yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam
lingkungan intelek.
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidup dalam
kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam
memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis
sangat mahal.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte
dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia
dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh.
Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan
kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai
dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui.
Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada
perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de
Philosophie Positivistic dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup
terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan
Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak
mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari
karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang
sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu
masyarakat positifis.
Sejak tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam
hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini
menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya
adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari "agama kemanusiaan"
(religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de
politique positive (1851 - 1854).
Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya
serangkaian pergolakan yang tersusun secara berkesinambungan sehingga
Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun
1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun
demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan
pikiran serta gagasannya.
Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh
dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon
yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum
yang menguasai proses perubahan. Simon merumuskan 3 tahap perkembangan
masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis
(periode absolutisme) dan tahap positif yang mendasari masyarakat
industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis
yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan
ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, statika yang
dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari
de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi
dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.
Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu
biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus
berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang
menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang
teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya
dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya
bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial
dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan
sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat
dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisasi
yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling
tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu
metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat
merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga
digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan,
dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan
mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap
penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans
ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk
dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini
memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan
perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok
yaitu,
Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan
dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme,
yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi
kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya
sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan
yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu
kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya
ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam
yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya
sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat
positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru
yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan
manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi
suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam
konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan
bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui
suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah
melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan
masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan
sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan,
dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa
nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam
tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya
masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi
kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama
Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam
masyarakat positif ini).
Herbert Spencer (1820 - 1903)
Herbert Spencer (27 April 1820 – 8 Desember 1903) adalah seorang filsuf
Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka. Meskipun
kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan
menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", dia lebih dikenal
sebagai “bapak Darwinisme sosial”. Spencer seringkali menganalisis
masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang
"hukum rimba" dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai
macam subyek, termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik,
biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna
untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum
padanya di saat ia masih hidup.
Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama,
pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat
setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan
ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Pada
tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang
hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga
menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya
Charles Darwin (yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera)
terhadap masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi
dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer
memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat
seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas
bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme dalam artian positivistis
dan deterministis, tidak dalam artian metaforis. Sebagai suatu
organisme, mesyarakat berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari
kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum.
Fungsi penyelaras dan pemersatu yang di dalam badan dilaksanakan oleh
urat, di dalam badan sosial dilaksanakan oleh sistem pemerintahan.
Berdasarkan ciri-cirinya, Spencer mengelompokan masyarakat ke dalam dua
tipe umum, yaitu masyarakat militeristis dan masyarakat indusri. Kedua
tipe ini bersifat ideal. Dikatakan demikian karena didalam kenyataan
tidak ada masyarakat yang melulu militeristis dan melulu industri.
Spencer beranggapan, bahwa kegiatan pokok suatu masyarakat mempengaruhi
bahkan menentukan corak semua pranatanya. Evolusi dari keadaan
militristis ke arah industri terjadi di seluruh dunia.
Dalam masyarakat militeristis orang bersikap agresif. Mereka lebih suka
merampas atau menjarah saja daripada bekerja kerasuntuk memenuhi
kebutuhan mereka. Tipe masyarakat seperti ini dipimpin oleh orang yang
kuat dan mahir berperang. Dengan tangan besi dan senjata, serta melalui
takhayul, ia mempertahankan kekuasaannya. Kekuatan fisik dipandang
sebagai nilai budaya yang tinggi, sehingga kaum wanita memiliki status
yang rendah. Mereka dipaksa bekerja keras. Penguasa menggenggam
kekuasaan yang absolut menimbulkan dan menebarkan ketakutan ke seluruh
lapisan masyarakat, sehingga mudah untuk dikendalikan. Ketakutan akan
roh-roh membuat mereka menyembah pada leluhur. Kultus leluhur ini
berevolusi menjadi politheisme, kemudian monotheisme. Jadi, dalam
masyarakat militeristis, ketakutan pada orang mati mendasari kekuasaan
politik. Kerjasama antar-anggota masyarakat terjadi karena paksaan dan
ketakutan.
Masyarakat industri adalah masyarakat dimana kerja produktif dengan cara
damai diutamakan daripada ekspedisi-ekspedisi perang. Kata “industri”
yang digunakan Spencer tidak mengacu pada “teknologi” atau
“rasionalisasi proses kerja”, melainkan dalam arti kerja sama spontan,
bebas demi tujuan damai. Ciri-ciri masyarakat industri adalah demokrasi,
adanya kontrak kerja yang menggantikan sistem perbudakan, kebebasan
dalam memilih agama, dan adanya otonomi individu. Menurut Spencer,
evolusi masyarakat industri berkaitan dengan perubahan sedikit demi
sedikit sel-sel kelamin manusia. Ini disebut genetic determination
(determinasi genetik). Tepatnya, faktor biologis yang menentukan, bukan
faktor kemauan yang membudayakan manusia. Dengan denikian Spencer
menolak apa yang disebut cultural determination (determinasi budaya).
Biografi Herbert Spencer
Spencer lahir di Derby, Inggris, 27 April 1820. ia tak belajar seni
Humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang utilitarian. Tahun 1837 ia
mulai bekerja sebagai seorang insinyur sipil jalan kereta api, jabatan
yang di pegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer
melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah
dan politik. Tahun 1848 spenser ditunjuk sebagai redaktur the economis
dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan
karya besar pertamanya, Social Statis. Selama menulis karya ini Spencer
untuk pertama kalinya mengalami insomnia (tidak bisa tidur) dan dalam
beberapa tahun berikutnya masalah mental dan fisiknya ini terus
mengikat. Ia menderita gangguan syaraf sepanjang sisa hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkan berhenti
bekerja dan menjalani hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak
pernah memperoleh gelar kesarjanaan Universitas atau memangku jabatan
akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mental
semakin parah, produktifitasnya sebagai seorang sarjana makin menurun.
Akhirnya Spencer mencapai puncak kemasyuran tak hanya di inggris tetapi
juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan “selama tiga
dekade sesudah perang saudara, orang tak akan mungkin aktif berkarya di
bidang intelektual apapun tanpa menguasai (pemikiran) Spencer” (1959;33)
salah seorang pendukungnya adalah industrialis terkenal Andrew
Carnegie. Selaku pengikut, Carnegie pernah menyurati spencer menjelang
akhir hanyatnya tahun 1903. “Guru yang tercinta…anda menemuiku tiap hari
dalam pikiranku dan terus – menerus muncul pertanyaan “mengapa” –
mengapa dia harus berbohong?mengapa dia harus pergi?....dunia tidak
menyadari keistimewaan pikirannya…namun suatu hari nanti dunia akan
menyadari ajarannya dan akan menghormati Spencer sebagai manusia besar”.
(carnegie, dikutip dalaam pee, 1971;2)
Namun nasib Spencer ternyata tidak seperti itu. Salah satu watak Spencer
yang paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya
adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama
dengan tokoh sosioligi awal Auguste Comte yang mengalami gangguan otak.
Mengenal keengganannya membaca buku orang lain, Spencer berkata: “aku
telah menjadi pemikir sepanjang hidup, bukan menjadi pembaca, aku
sependapat apa yang di katakan Hobbea jika membaca sebanyak yang di baca
orang lain, aku akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu”
(Wilstshire’1978;67). Temannya pernah meminta pendapatnya tentang buku,
dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental
buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (
Wilstshire’1978;67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer
dalam menyerap peengetahuan melalui kekuatan kulitnya ….ia rupanya tak
pernah membaca buku” (Wilstshire’1978;67). Bila ia tak pernah membaca
karya sarjana lain, lalu dari mana gagasan dan pemahaman Spencer
berasal.
Menurut Spencer, ide – idennya muncul tanpa sengaja dan secara intuitif
dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi
sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja ataupun upaya keras”
(Wilstshire’1978;66). Intuisi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih
efektif ketimbang upaya berfikir dan belajar tekun ”pemecahan yang
dicapai melalui cara yang dilukiskan itu memungkinkan lebih benar
ketimbang yang dicapai dengan pemikiran” (Wilstshire’1978;66) Spencer
menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain.
Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu di lakukan hanya
sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan
gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles
Darwin, pakar sezamannya. Berkata tentang Spencer “jika ia mau melatih
dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan resiko kehilangan sebagian
kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seseorang yang
hebat” (Wiltshire, 1978;70). Pengabaiaan Spencer terhadap aturan ilmu
pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan
pernyataan yang belum di buktikan kebenarannya mengenai evolusi
kehidupan manusia. Karena itulah sosiologi abad 20 menolak gagasan
Spencer dan menggantinya dengan riset ilmiah dan riset empiris yang
tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.
Émile Durkheim (1858 - 1917)
David Émile Durkheim (15 April 1858 - 15 November 1917) dikenal sebagai
salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi
pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah
satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Année
Sociologique pada 1896.
Biografi Émile Durkheim
Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia
berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya
adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah
kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena
keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun
demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya-banyak
mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih
berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale
Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling
cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean
Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan
intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar dibawah Fustel de
Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial.
Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert
Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap
masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak
konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai
kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu
kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir
dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk
posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik.
Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan
terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap
pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya
untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan
Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi
minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik.
Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang
aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh
pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah
belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada
1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama
di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu
posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem
sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam
kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan
agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan
“Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang
hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan
“Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan
apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan
Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896
ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan
mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari
mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok
mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada
1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan
contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh
kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne.
Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah
lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi
ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar kuliah-kuliahnya wajib
diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa
setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik,
Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara
permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan
dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang
terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup
Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan
internasionalis ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular,
rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak
terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan
posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang,
rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana
(ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar
dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah
lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib
militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan
mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam
perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh
Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah
bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada
1917.
Teori dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat
mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika
hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada
lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern,
Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama
terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah
satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai
bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan
dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu
posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah
dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber,
ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi
tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis),
melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah
yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan
sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang
lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang
membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta
sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap
iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim
meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk
masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti
bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat
modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand
Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme
hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih
kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim
membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan
teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme
sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan
oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup
kesadaran individual norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur
dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang
sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang
berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan
ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak
lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat
yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang
swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang
sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh
gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam
produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini,
demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam
cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan
dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu
dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat
yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif:
pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman,
dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh
kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan
kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas
organik, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum
melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang
kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya
pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin
meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang
akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur
perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol
adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh
Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti
berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik,
dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang
Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut
Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap
kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat
integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat
menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri tingkat yang rendah
menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan
masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh
diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan
orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang
normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah.
Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan
seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat
'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti
"Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya
"Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya
ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam
membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam
masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)
Tentang pendidikan
Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena
ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia
menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan
tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin.
Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat
digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang
sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa
hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan
pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber
solidaritas bagi orang-orang dewasa.
Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:
1) Memperkuat solidaritas sosial
Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik
bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan
dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.
2) Mempertahankan peranan sosial
Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai
hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah
mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.
3) Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka.
Max Weber (1864 - 1920)
Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 – meninggal di
München, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli
ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah
satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya
utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan
pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya
yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi
agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi
perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya
yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan
negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan
kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam
studi tentang ilmu politik Barat modern.
Sosiologi agama
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok:
Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan
Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh
kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan
penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang
Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi,
hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan
karakteristik budaya Barat.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan
Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap
temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih
luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem
ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal
tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut.
Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme
terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu
tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap
administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi
tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti
meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari
pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek
pembeda yang penting dari budaya Barat.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische
Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling
terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai
sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih
sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama
penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan
perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis
bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme.
Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan
duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi
dalam Protestanisme?
Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya. Ia mendefinisikan
"semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung
pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan
bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila
dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu
seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut
mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi
yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang
diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan
upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang
harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya
dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang
teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian
Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai
di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata,
melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok
manusia."
Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada
banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan
keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty,
Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang
telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme
dengan perkembangan semangat perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung
pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang
telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan
dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk
sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang
didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung
mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan
ekonomi.
Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena
koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai
penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects.
Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk
perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya
kelak dalam karya-karyanya berikutnya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan
dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil
ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang
Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang
kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek
dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan
khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan
pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam
Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan
pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu
aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme)
mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi
yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang
bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam
Masa Peperangan Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau
tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan
kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan
para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan
oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan
keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling
bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk
memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di
Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para
warga kota Eropa.
Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik
dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing,
tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan
ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa
perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman
Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan
penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas
(ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan
Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara
Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang
diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari
spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih
dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan
akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman
yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah
diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk
rasionalisme moral dari peradaban Barat."
Biography of Max Weber ( 1864-1920 )
Max Weber lahir di Erfurt, jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga
kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh
besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber.
Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan
menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya
menjauhkan diri dari setia aktivitas dan idealisme yang memerlukan
pengorbanan diri atau yang dapat menimbuklkan ancaman terhadap kedudukan
dalam sistem. Lagipula sang ayah adalah seorang yang menyukai
kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya,
ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang
Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin
(ascetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya.
Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat. Ia
terganggu oleh ketidak sempurnaan yang dianggap pertanda bahwa ia tidak
di takdirkan akan mendapat keselamatan diakhirat. Perbedaan mendalam
antara kedua pasangan ini menyebapkan ketegangan perkawinan mereka dan
ketegangan ini berdampak bersar pada Weber. Karena tak mungkin
menyamakan diri terhadap pembawaan orang tunanya yang bertolak belakang
itu. Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Mariane
Weber,1975;62) mula- mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi
kemudian tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun
pilihan, ketegangan yang dihasilkan kebutuhan memilih antara pola yang
berlawanan ini berpengaruh negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika
berumur 18 tahun Weber minggat dari runah, belajar di Universitas
Heildelberg, Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi
ketika masuk Universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemelu dalam
bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup
ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok
mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagai
karena terbiasa minum bir dengan teman – temannya. Lagipula ia dengan
bangga memamerkan parutan akibat perkelahiaan yang menjadi cap kelompok
persaudaraan mahasiswa seperti itu, dalam hal ini Weber tak hanya
menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan ayahnya tetai juga pada
waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah tiga semester weber meninggalkan Heildelberg untuk dinas
militer dan tahun 1884 ia kembali ke berlin, kerumah orang tuanya, dan
belajar di Universitas Berlin. Ia metetap disana hampir 8 tahun untuk
menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph,d, menjadi pengacara dan
mulai mengejar di Universitas Berlin, dalam proses itu minat belajarnya
bergeser ekonomi, sejarah, dan sosiologi yang menjadi sasaran
perhatiaanya selama sisia hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin,
kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera
tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekat nilai –
nilai ibunya dan anti pati terhadap ayahnya meningkat (asceptic) dan
memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu
semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai
berikut, ”dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur
kehidupannya berdasarkan pembagiaan jam–jam kegiatan rutin sehari–hari
kepada bagian–bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut
caranya, makan malam sendiri di kamarnya dengan 1 pot dagung sapi dan 4
buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971;48;mariane, Weber,1975;105 ),
jadi, dengan mengikuti ibunya, weber mengalami hidup prihatin, rajin,
bersemangat kerja tinggi – dalam istilah modern disebut workaholic (gila
kerja). Semangat kerja tinggi ini mengantarkan Weber menjadi Profesor
ekonomi di universitas Heildelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir
akademis Weber berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi
pertengkarang sengit antar mereka. Tak lama kemudian Weber menunjukkan
gejala yang berpuncak pada gangguan saraf. Sering tidak bisa tidur atau
bekerja, enam atau tujuh tahun berikutnya dilalui dalam keadaan
mendekati kehancuran total. Setelah masa kosong yang lama, sebagai
kekuatan yang mulai pulih di tahun1904, ketika ia memberikan kuliah
pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama 6,5 tahun,
Weber mulai mampu aktif kembali dalam kehidupan akademis. Tahun 1904 dan
1905 ia menerbitkan salah satu terbaiknya, “the protestat Ethic and The
Spirit of Capitalsm”. Dalam karya ini Weber banyak menghabiskan waktu
untuk belajar agama meski secara pribadi ia tak religius.
Meski terus di anggap maslah oleh psikologis, setelah 1904 Weber mampu
memproduksi beberapa karya yang sangat penting, ia menerbitkan hasil
studi tentang agama dunia dalam perspekti sejarah dunia (misalnya, cina
india dan agama yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 juni 1920)ia
menulis karya yang sangat penting, “economy and Society”. Meski buku ini
di terbitkan, dan telah di terjemahkan dalam beberapa bahasa, namun
buku ini belum selesai. Selain menulis berjilid–jilid buku dalam periode
ini, Weber pun melakukan kegiatan lain, ia membantu mendirikan German
Sociological Sosiety di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan
pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti George Simmel,
Robert Michelis, dan saudara kandungnya, Alfred, maupun filsuf dan
kritikus sastra George Lukacs (Scaff, 1989;186-222). Weber pun aktif
dalam aktifitas politik dan menulis tentang masalah politik di masa itu.
Ada ketegangan dalam kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam
karyanya, dalam pemikiran birokratis seperti yang tercermin oleh ayahnya
dan rasa keagamaan ibunya. Ketegangan yang tak terselesaikan ini
meresapi karya Weber mauun kehidupan pribadinya.
Ia menyelesaikan pendidikannya dibidang hukum, ekonomi, sejarah,
filsafat dan teologi. Ia termasuk yang ikut menyebarkan ilmu sosiologi
yang dianggap masih muda diwaktu itu. Max Weber, walaupun menguasai
bidang politik namun ia tidak terlibat dalam aksi politik. Ia mengarang
buku Le Savant et le politique (ilmuan dan politik). Weber menyatakan
bahwa rasionalisasi kehidupan sosial menjadi ciri yang paling signifikan
pada masyarakat modern. Menurutnya rasionalisasi menyangkut tiga tipe
besar aktifitas manusia yaitu :
1. Tindakan tradisional yang berkaitan dengan adat-iastiadat. Aktivitas
sehari-hari seperti makan menggunakan garpu atau cara member salam
kepada teman termasuk pada tindakan tradisional.
2. Tindakan afektif yang digerakkan oleh nafsu.
3. Tindakan rasional yang merupakan alat (instrument), ditujukan kearah
nilai yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan
dengan cara.
Menurutnya tindakan rasional menjadi ciri masyarakat modern yaitu
dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuan, konsumen atau pegawai yang
bertindak sesuai dengan logika tersebut. Aktivititas manusia merupakan
kombinasi dari berbagai tindakan. Jarang sekali aktivitas sosial yang
berorientasi pada salah satu jenis tindakan saja. Jenis-jenis aktivitas
itu hanya berupa tipe-tipe murni yang dibangun untuk tujuan risert
sosiologi. Aktivitas riil itu kurang lebih sebanding dan lebih sering
berkombinasi.
Dalam econimie et societe, ia membedakan tiga tipe dominasi :
1. Dominasi tradisional yang didasarkan pada legitimasi karena ciri
sakralitas yang melekat kepadanya.contohnya kekuasaan para tuan tanah.
2. Dominasi kharismatik adalah dominasi suatu perorangan/personalitas
tertentu dan dikaruniai aura khusus. Pemimpin kharismatik membesarkan
kekuatan untuk menyakinkan dan kapasitasnya untuk mengumpulkan dan
memobilisasi banyak orang. Ketaatan pada pemimpin semacam ini terkait
dengan factor-faktor emosional yang berhasil dibangkitkan, dipertahankan
dan dikuasainya.
3. Dominasi “legal-rasional “ yang bertumpu pada hukum formal dan
impersonal. Dominasi ini terkait dengan fungsi, dan bukan pada person.
Kekuasaan dalam organisasi modern dijustifikasi lewat kompetensi,
rasionalitas dan bukan pada kekuatan sihir. Kepatuhan pada tipe ini
didasarkan pada sebuah kitab hukum. (Philippe Cabin, 2008 ).
Sumbangan Max Weber
Weber menulis buku berjudul “The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1904 - 1905). Menurut Weber, faktor – faktor non-ekonomis,
dan ide – idemerupakan faktor sosiologis yang penting. Begitu pula
status sosial dan posisi individual dalam struktur kekuasaan menentukan
strata masyarakat.
Menurut Weber, “politik” adalah sarana perjuangan untuk bersama-sama
melaksanakan politik, atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian
kekuasaan, baik di antara negara – negara, maupun di antara kelompok –
kelompok di dalam suatu negara. Sedangkan negara didefinisikan sebagai
komunitas atau masyarakat yang berhasil memonopoli penggunaan
kekuatan-kekuatan fisik yang sah di dalam satu teritorial tertentu.
Dengan demikian Weber sangat memperhatikan pelaksanaan kekuasaan dan
legitimasinya. Menurut Weber ada tiga tipe legitimasi kekuasaan, yaitu
legitimasi tradisional, legitimasi karismatik, dan legitimasi
legal-rasional.
1. Legitimasi Tradisional. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada
tradisi. Seorang Raja memerintah karena menurut tradisi keluarganya yang
memerintah, karena dia dipilih oleh dewa-dewa, karena dewan suku
memilih dia melalui metode-metode serimonial tradisional.
2. Legitimasi Karismati. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada karisma
pribadi seseorang. Seseorang dipilih menjadi pemimpin karena memiliki
kepribadian, personality yang dominan.
3. Legitimasi Legal-Rasional. Kekuasaan atau otoritas didasarkan pada
prinsip-prinsip legal-rasional. Seseorang dipilih menjadi presiden,
misalnya, sesuai dengan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Ketentuan birokratis, misalnya, memberikan otoritas kepada polisi dan
petugas paspor.
Masing-masing bentuk legitimasi ini berkaitan dengan bentuk organisasi
tertentu. Pemimpin tradisional terdapat terutama dalam
organisasi-organisasi patrimonial dan patriarkal. Pemimpin karismatik
biasanya memiliki pengikut serta pendukung. Dan pejabat-pejabat
legal-rasional terdapat di berbagai lingkungan birokrasi.
Sumbangan metodologis Weber yang diterapkan pada sosiologi adalah cara
pemahaman yang disebut Verstehen (istilah Jerman, artinya pemahaman atau
wawasan). Sebagai subjek, para sosiolog dapat memperoleh suatu
“pemahaman interpretatif” tentang makna perilaku tertentu. Melalui
observasi yang hati-hati, mereka akan menguji pemahaman ini. Menurut
Weber, tingkah laku manusia akan lebih mudah dipahami bila motif-motif
dan maksud-maksud mereka pun diperhitungkan. Maka ia pun menekankan
pentingnya sumbangan kekuatan ide sebagai faktor sosial.
Menurut Weber, sosiolagi harus bebas nilai (value-free), tidak berpihak
kepada kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Para sosiolog harus
mencegah bias personal dalam melakukan riset ilmiah. Ini untuk menjamin
obyektivitas kebenaran sosiologi.
Charles Horton Cooley (1864 - 1929)
C. H Cooley (lahir 17 Agustus 1864 – meninggal 8 Mei 1929 pada umur 64
tahun) lahir di Michigan, Amerika Serikat, dia adalah anak seorang ahli
hukum terkenal yaitu Thomas M. Cooley. Pada mulanya dia belajar teknik
mesin elektro, kemudian dia juga belajar ekonomi. Setelah lulus akademis
dia bekerja di pemerintahan seperti di departemen komisi pengawas,
kemudian juga di kantor sensus. Pada tahun 1892 dia menjadi dosen ilmu
ekonomi, politik, serta sosiologi di universitas Michigan. Pemikiran
Cooley banyak dipengaruhi oleh George Herbert Mead dan Sigmund Frued.
Cooley tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik.
Cooley mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial.
Cooley menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin
diri (the looking glass self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki
kesadaran dan kesadaran itu terbentuk dalam interaksi sosial yang
berlanjut. Selain itu adalah konsep kelompok primer, yakni kelompok yang
hubungan antara anggotanya sangat akrab dan bertatap muka dalam arti
saling mengenal kepribadian masing-masing. Baik Cooley maupun Mead
menolak pandangan behavioristik tentang manusia, pandangan yang
menyatakan manusia (individu) memberikan respon secara membabi buta dan
tanpa kesadaran terhadap rangsangan dari luar. Ia menganjurkan sosiolog
mencoba menempatkan diri di tempat aktor yang diteliti dengan
menggunakan metode introspeksi simpatetik untuk menganalisis kesadaran
itu. Sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada fenomena psikologi
sosial seperti kesadaran, tindakan, dan interaksi.
Menurut Charles H. Cooley; “Kerja sama timbul apabila orang menyadasri
bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat
yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap
diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran
akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi
merupakan fakta-fakta yang pentingan dalam kersama yang berguna”.
Charles Horton Cooley adalah seorang sosiolog yang berasal dari Amerika
Serikat. Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh oleh aliran
romantik yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun dan damai sebagaimana
dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja.
Prihatin melihat masyarakat-masyarakat modern yang telah goyah
norma-normanya, sehingga masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal
yang terlalu
berlebih-lebihan kesempurnaannya.
Hasil-hasil karyanya, antara lain:
1. Social Process
2. Social Organization
3. Human nature and social order
Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806-1882)
Mengenalkan metode tertentu di dalam meneliti dan menganisis
gejala-gejala sosial yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap
fakta-fakta sosial dan analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan
metode case study dalam penelitian-penelitian sosial.
Hasil penelitiannya, bahwa lingkungan geografis menentukan jenis
pekerjaan, dan hal ini mempengaruhi organisasi ekonomi, keluarga serta
lembaga-lembaga lainnya.
Le Play menganalisis keluarga sebagai unit sosial yang fundamental dari
masyarakat. Organisasi keluarga di tentukan oleh cara-cara
mempertahankan kehidupannya yaitu cara mereka bermata pencaharian. Hal
ini sangat tergantung pada lingkungan timbal balik antara faktor-faktor
tempat, pekerjaan dan manusia (atau masyarakat). Atas dasar
faktor-faktor tersebut, maka dapatlah diketemukan unsur-unsur yang
menjadi dasar adanya kelompok-kelompok yang lebih besar, yang memerlukan
analisis terhadap semua lembaga-lembaga politik dan sosial suatu
masyarakat.
Ferdinad Tonnies (1855-1936)
Biografi Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies lahir pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936. Ia
merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi
terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah
yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909,
bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya )
Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft und
Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang
selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi
Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain
yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya
Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).
Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI
di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di
University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk
melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog
dimasanya.
Gemeinschaft dan Gesellschaft
Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan
konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu
Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan
Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat
modern-istilah Piotr Sztompka). Setelah sebelumnya Weber menegaskan
bahwa ia melihat bahwa perubahan masyarakat terlihat pada kecenderungan
menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala
bidang (pertimbangan instrumental, penekanan efisiensi, menjauhkan diri
dari emosi dan tradisi, impersonalitas, manajemen birokrasi dan
sebaliknya). Senada dengan hal itu, Durkheim menegaskan bahwa
perkembangan pembagian kerja pun akan didikuti integrasi masyarakat
melalui “solidaritas organik” yang menimbulkan ikatan yang saling
menguntungkan dan kontribusi anggota masyarakat akan saling melengkapi.
Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu
diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang
bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang
berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang
sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya
secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya
keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas
kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan
sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang
terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya
mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan
individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan
batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap
tempatnya di masyarakat.
Sedangkan Gesellschaft, sebagai sesuatu yang kontras, menandakan
terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu
individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat
superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu,
dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam
berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang,
norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik
seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill yaitu bentuk-bentuk
kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada
manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam
bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah. Jadi, wessenwill itu
sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan
alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan
bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan
pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan
alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya. Atau dapat pula berupa
pertimbangan dan pertolongan.
Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada
ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang
semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan,
masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di DI. Yogyakarta, Solo, dan
sebagainya.
2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan
diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan
untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
3. Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan
Apabila Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan
membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”,
Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”,
Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat
kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan
oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan
pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh
ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer).
Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah
berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat
modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap
kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama
nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi
(Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut
evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan.
Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia,
lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan
manusia.
Leopold von Wiese ( 1876-1949 )
Ia seorang sosiololog dari Jerman. Ia beranggapan bahwa sosilogi adalah
ilmu pengetahuan empiris yang berdiri sendiri.. Menurutnya “sosiologi”
adalah penelitian terhadap hubungan antar manusia yang merupakan
kenyataan sosial. Obyek sosiologi adalah interaksi sosial atau proses
sosial. Ia meneliti tentang klasifikasi proses-proses sosial, yang
menekankan pada proses sosial asosiatif dan disosiatif. Setiap katgori
proses-proses sosial dibagi-bagi lagi menjadi proses yang lebih kecil.
Menurutnya Sosiologi harus memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan
manusia tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan atau kaidah-kaidah.
Sosiologi harus mulai dengan pengamatan terhadap perilaku kongkrit
tertentu. Ajarannya bersifat empiris dan dia berusaha untuk mengadakan
kuantifikasi, terhadap proses-proses sosial yang terjadi. Proses sosial
merupakan hasil perkalian dari sikap dan keadaan, yang masing-masing
dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya secara sistematis.
Ia juga meneniliti tentang struktur sosial. Menurutnya struktur sosial
merupakan saluran dalam hubungan antar manusia. Hasil karyanya antara
laihn:
The basic of sociology: a critical examination of Herbert spencer’s
synthetic philosophy ( 1906 ) General sociologi, jilid.I Social
relations ( 1924 ) dan jilid II tahun 1929
Alfred Vierkandt ( 1867-1953 )
Pada mulanya ia berpendapat bahwa kajian sosiologi adalah membahas
tentang sejarah kebudayaan. Kemudia ia berpandangan lain bahwa kajian
sosiologi adalah interaksi sosial dan hasil dari interaksi tersebut.
Menurutnya masyarakat adalah himpunan-himpunan interaksi sosial,
sehingga sosiologi bertugas untuk mengkontruksikan teori-teori tentang
masyarakat dan kebudayaan. Setiap masyarakat merupakan kebulatan dimana
masing-masing unsur saling mempengaruhi. Menurutnya dasar struktur
sosial adalah ikatan emosional, tak ada konflik antara kesadaran
individu dengan kelompoknya. Hubungan antar individu merupakan mata
rantai, hubungan tersebut akan timbul dan akan hilang, akan tetapi
strutur dan tujuan kelompok sosial akan tetap bertahan. Sosiologi juga
mempelajari bentuk-bentuk struktur sosial tersebut.
Hasil karyanya, Primitive and civilized people (1896), Inertia in
culture change (1908 ), Theory of society; Main problem of philosophical
sociologi ( 1922 )
Sosiologi menyoroti situasi-situasi mental. Situasi-situasi tersebut tak
dapat dianalisis secara tersendiri, akan tetapi merupakan hasil
perilaku yang timbul sebagai akibat interaksi antar individu-individu
dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, tugas sosiologi
adalah untuk menganalisis dan mengadakan sistematika terhadap gejala
sosial dengan jalan menguraikannya ke dalam bentuk-bentuk kehidupan
mental. Hal itu dapat ditemukan dalam gejala-gejala seperti harga diri,
perjuangan, simpati, imitasi dan lain sebagainya. Itulah prekondisi
suatu masyarakat yang hanya dapat berkembang penuh dalam kehidupan
kelompok atau dalam masyarakat setempat (community). Oleh karena itu
sosiologi harus memusatkan perhatian terhadap kelompok-kelompok sosial.
Lester Frank Ward (1841-1913)
Sosiologi bertujuan untuk meneliti kemajuan-kemajuan manusia. Ia
membedakan antara pure sociology (sosiologi murni) yang meneliti asal
dan perkembangan gejala-gejala sosial, dan apllied sociology (sosiologi
terapan) yang khusus mempelajari perubahan-perubahan dalam masyarakat
karena usaha-usaha manusia.
Kekuatan dinamis dalam gejala sosial adalah perasaan.
Ward menerima gagasan bahwa manusia berkembang dari bentuk yang lebih
rendah ke statusnya yang seperti sekarang. Ia yakin bahwa masyarakat
kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan
masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan
kebebasan lebih besar. Menurutnya, sosiologi tidak hanya bertugas
meneliti kehidupan sosial saja, tetapi harus pula menjadi lmu terapan.
Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan
ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Vilfredo Pareto (1848 - 1923)
Sosiologi didasarkan pada observasi terhadap tindakan-tindakan,
eksperimen terhadap fakta-fakta dan rumus-rumus matematis. Masyarakat
merupakan sistem kekuatan yang seimbang dan keseimbangan tersebut
tergantung pada ciri-ciri tingkah laku dan tindakan-tindakan manusia dan
tindakan-tindakan manusia tergantung dari keinginan-keinginan serta
dorongan-dorongan dalam dirinya.
Pareto terkenal dengan kriteri efisiensi ekonominya juga diakui sebagai
pendiri sosiologi abab ke-20 (bersama-saa Durkheim dan Weber). Penekanan
Pareto pada akar-akar hukum didalam sumber-sumber yang menentang
analisis rasional ortodoks dan cara dibangunnya pembenaran logis diatas
pondasi non-logos masih bermanfaat.
Pareto dalam bukunya “The Mind and Society” mencoba menyangkal Marxisme
dengan jalan mengakui eksistensi dari klas penguasa (the ruling clas)
atau kelompok elite, dengan menyatakan pendapatnya bahwa kaum elite
tidak perlu mendapatkan posisinya berkat supremasi ekonomisnya, dan
bahwa perubahan sosial dan perubahan politik akan terjadi oleh adanya
sirkulasi dari kaum elitenya yang tidak perlu didukung oleh
faktor-faktor ekonomi.
George Simmel ( 1858-1918 )
Lahir di Berlin 1858. Ia menylesaikan studinya dibidang filsafat. Ia
memberikan kontribusi yang cukup besar pada konsep tindakan timbal balik
dan ikatan sosial. Naskahnya tahun 1909 yang berjudul “Brucke und tur
(jembatan dan pintu)”, baginya kehidupan sosial merupakan gerakan yang
tidak henti-hentinya membangun kembali model hubungan antar individu.
Tindakan yang dilakukan oleh seseorang akan memberikan pengaruh pada
sesamanya. Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi yang beragam
dan tanpa pernah berhenti bergerak itulah totalitas seluruh tindakannya
yang member kontribusi untuk mempersatukan totalitas individu menjadi
masyarakat global.
Menurutnya produk dari tindakan timbal balik itu sebagai”bentuk sosial” (forms sociale) yang terdiri dari :
1. Bentuk yang bersifat permanen (keluarga, Negara, gereja, perusahaan,
partai politik dsb) ini yang disebebut lembaga atau institusi.
2. Bentuk-bentuk yang merupakan skema prabangun dan dengan skema inilah
berbagai organisasi dibentuk (hirarkhi, persaingan, konflik, pengalaman,
pembagian kerja dll) ini merupakan bentuk-bentuk yang tengah terbentuk.
3. Bentuk-bentuk yang membentuk batas umum terjadinya sosialisasi
(politik, ekonomi, hokum, pendidikan dll) ini disebut konformasi.
4. Bentuk-bentuk yang berlansung singkat berupa ritus-ritus harian
(kebiasaan , makan, berjalan bersama, sentuhan , sopan santun dll) (
Anthony Gidden, 2008 )
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, yaitu satu-satunya
ilmu pengetahuan analitis yang abstrak di antara semua ilmu pengetahuan
kemasyarakatan. Objek sosiologi adalah bentuk-bentuk hubungan antar manusia.
Elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang
mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Pelbagai lembaga di
dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi dan
konflik. Semua hubungan-hubungan sosial, keluarga, agama, peperangan,
perdagangan, kelas-kelas dapat diberi karakteristik menurut salah satu
bentuk diatas atau ketiga-ketiganya. Menurutnya, seseorang menjadi warga
masyarakat untuk mengalami proses individualisasi dan sosialisasi.
Tanpa menjadi warga masyarakat tak akan mungkin seseorang mengalami
proses interaksi antara individu dengan kelompok.
Dengan kata lain, apa yang memungkinkan masyarakat berproses adalah
bahwa setiap orang mempunyai peranan yang harus dijalankannya. Maka,
interaksi individu dengan kelompok hanya dapat dimengerti dalam kerangka
peranan yang dilakukan oleh individu.
WILLIAM GRAHAM SUMNER (1840-1910)
Sistem sosiologi Sumner (seorang Amerika) didasarkan pada konsep
in-group dan out-group. Masyarakat merupakan peleburan dari
kelompok-kelompok sosial. Kebiasaan dan tata kelakuan merupakan
petunjuk-petunjuk bagaimana harus memperlakukan warga-warga sekelompok
maupun warga-warga dari kelompok lainnya. Apabila suatu kebiasaan
dianggap demikian pentingnya bagi kesejahteraan kelompok sosial, maka
kebiasan tersebut menjadi tata kelakuan atau moral kelompok yang
mempunyai sanksi-sanksi yang tegas. Menurut Sumner ada empat dorongan
yang universal dalam diri manusia yaitu rasa lapar, rasa cinta, rasa
takut dan rasa hampa. Dari dorongan teersebut timbullah
kepentingan-kepentingan yang menyebabkan terjadinya pola-pola kegiatan
kebudayaan. Karena itu, keempat dorongan tersebut merupakan
kekuatan-kekuatan sosial yang terpokok.
Hasil karyanya adalah: Collected Essays on Political and Science (1885),
What social classes owe to folkways (1907), Selected essays of William
Graham Sumner (1924), The science of sociology (dengan A.C. Keller,
1927), Essays of William Graham Sumner (2 jilid, 1934).
Salah satu karyanya Folkways. Folkways dimaksudkan dengan
kebiasaan-kebiasaan sosial yang timbul secara tidak sadar dalam
masyarakat, kebiasaan-kebiasaan mana menjadi bagian dari tradisi. Hampir
semua aturan-aturan kehidupan sosial, upacara sopan-santun, kesusilaan,
dan sebagainya, termasuk dalam Folkways tersebut. Aturan-aturan
tersebut merupakan kaidah-kaidah kelompok yang masing-masing mempunyai
tingkat atau derajat kekuatan yang berbeda-beda. Apabila kaidah-kaidah
tadi dianggap sedemikian pentingnya, maka kaidah-kaidah tadi dinamakan
tata kelakuan (mores). Kaidah-kaidah tersebut tidaklah menjadi bagian
dari suatu masyarakat secara menyeluruh, dan oleh karena itu sumner
membedakan antara kelompok sendiri (in-gropus) dengan kelompok luar
(out-groups). Pembedaan ini ditujukan untuk dapat memberikan petunjuk
bahwa ada orang-orang yang
diterima dalam suatu kelompok dan ada pula yang tidak. Pembedaan
tersebut menimbulkan pelbagai macam antagonisme, pertentangan serta
pertikaian.
ROBERT EZRA PARK (1864-1944)
Park dianggap sebagai pelopor dari salah satu mahzab dalam ilmu
sosiologi yaitu mahzab ekologi yang diakui sebagai cabang ilmu sosiologi
pada 1925 oleh suatu pertemuan American sociological society. Pokok
ajarannya adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa sosiologi meneliti
masyarakat setempat dari sudut hubungan antar manusia. Park memimpin
sejumlah besar penyeledikan mengenai pelbagai peristiwa dalam pergaulan
hidup kota dan mengenai sifat-sifat suatu bangsa. Namanya terkenal
karena telah mengarang sebuah buku pengantar sosiologi (bersama Burgess)
yang berjudul: introduction to the science of sociology pada 1921.
dalam buku ini, Park membahas semua persoalan ilmu sosiologi, yang
sebagian diambil dari kupasan-kupasan hasil karya sarjana sosiologi
terkemuka. Bukunya berpengaruh besar pada perkembangan lanjut ilmu
sosiologi terutama di Amerika Serikat.
Hasil karyanya adalah: Race and culture (diterbitkan pada 1950, setelah
dia meninggal dunia), dan sebelumnya dia telah menulis sebuah buku
bersama dengan H.A. Miller (pada 1921) yang berjudul: Old World Traits
Transplanted.
KARL MANNHEIM (1893-1947)
Karl Mannheim mula-mula adalah seorang guru besar Universitas
Frankurt-am-Main di Jerman. Kemudian pindah dan menetap di Inggris,
dimana dia menjadi guru besar Universitas London. Mannheim telah banyak
menyumbangkan buah pikirannya bagi perkembangan sosiologi. Antara lain
dipeloporinya suatu cabang sosiologi, yang dinamakannya sosiologi
pengetahuan, yang khusus menelaah hubungan antara masyarakat dengan
pengetahuan. Kemudian, teorinya yang sangat terkenal adalah mengenai
krisis. Akar dari segenap pertentangan yang menimbulkan krisis terletak
dalam ketegangan-ketegangan yang timbul di semua lapangan kehidupan,
karena asas laissez faire berdampingan dengan asas-asas yang baru dalam
kehidupan ekonomi. Ini berlaku pula bagi lapangan-lapangan kehidupan
lainnya. Perimbangan-perimbangan dalam masyarakat menurut asas yang
baru, dan dalam hal ini manusialah yang harus memberi bentuk kepada
perimbangan-perimbangan baru tadi. Akan tetapi dalam hal ini manusia
gagal melakukannya. Inilah yang meyebabkan krisis. Menurut Mannheim yang
sangat perlu adalah diadakannya suatu planning for freedom, yaitu
semacam peencanaan yang diawasi secara demokratis dan menjamin
kemerdekaan aktivitas-aktivitas individu perimbangan tersebut diatas.
Dalam rangka planning for freedom tersebut, Mannheim merintis
pembentukan The International Library of Sociology and Social
Reconstruction yang bertujuan untuk menelaah (secara ilmiah)
persoalan-persoalan ekonomi dan perencanaan sosial yang merupakan
persoalan penting dewasa ini.
Hasil karyanya adalah: Ideology and utopia (1929), Man and society in an
age of reconstruction (1940), Diagnosis of our time (1943).
Konsep Sosiologi Politik Mannheim
Di dalam Ideologie und Utopie Mannheim membahas mengenai betapa rumitnya
gagasan-gagasan dan pemikiran politik dengan berbagai interpretasinya
dilihat dari kacamata sosiologis. Sedangkan didalam Man and Society in
an Age of Reconstruction, ia mengemukakan suatu rancangan untuk
melakukan reorganisasi tatanan sosial demi mengatasi krisis yang melanda
kehidupan masyarakat. Baginya, pengawasan dan pengendalian
‘totalitarian’ yang terkontrol bukanlah merupakan antitesis atau
pengingkaran atas kebebasan dalam kaitannya dengan modernisme, sehingga
melalui perencanaan itulah masyarakat memiliki kemungkinan untuk dapat
menentukan pilihannya secara bebas tanpa ada sorangpun yang akan
‘mengatur’ dan memaksanya. Dengan demikian, ’social control’ yang
merupakan alat ‘dehumanisasi’, bagi Mannheim justru membuat hidup ini
semakin ‘alami’ (natural) dan bukan merupakan proses eliminasi atas
kualitas sifat-sifat manusia. Sebagai sebuah teori politik, konsep
Mannheim sebenarnya memiliki kelemahan-kelemahan, karena ia gagal untuk
mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara langsung berkaitan dengan
kekuatan dan kekerasan sebagai sebuah aspek dari suatu pengawasan dan
pengendalian sosial. Teori politik Mannheim tidak dapat menunjukkan
keterkaitannya dengan fakta-fakta politik (yang paling jelas sekalipun).
Ia juga tidak dapat menunjukkan keterkaitan dengan sejarah politik yang
bergerak menuju masa-masa yang mempengaruhi (konsep) negara modern
menuju liberalisme. Selain itu, teori politiknya juga tidak dapat
menunjukkan konsep pemerintahan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
ide-ide atau fakta-fakta yang berguna mengenai bentuk-bentuk maupun
proses pemerintahan sehingga semua proses dan konsep itu menjadi
terhenti. Mannheim memang memberikan penegasan mengenai alasan kebijakan
politik yang memunculkan berbagai pertanyaan mengenai otoritas,
legitimasi, hukum, kewarganegaraan, isu mengenai undang-undang, masalah
yang berkaitan dengan ideologi dan sosiologi, serta masalah yang
menyangkut sosiologi politik, elit politik, dan para penyelenggara
negara. Selain itu, ia juga membicarakan mengenai teknik-teknik
pengawasan masyarakat, mengenai perintah, dan upaya dalam melakukan
tekanan serta kekerasan terhadap masyarakat oleh pihak penguasa, serta
masalah-masalah integrasi dan koordinasi. Hal-hal itulah yang telah
‘mengukuhkan’ Mannheim sebagai seorang ahli teori sosiologi politik.